resolusi konflik Thailand Selatan persepktif Indonesia




Abstract

Long time ago conflict between the government of Thailand and its southern provinces has not been resolved. Beside the religion factors, the cause of conflict in southern Thailand are the social inequalities and also abusive actions of the government. In this time I aim explore the probability of Indonesia’s involvement to become an mediator in the conflict of Thailand and its southern provinces. Indonesian experience managing conflict between gam and the government are example that third parties involvement in resolution of internal conflict.

Key words

conflict in southern Thailand, secessionist conflict settlement, entry consent, mediation

Pendahuluan

Patani ( pattani ), Yala, dan Narathiwat merupakan provinsi yang berada di Thailand Selatan yang sejak zaman dahulu hingga sekarang masih mengalami konflik separatism dengan pemerintah pusat Thailand. Wilayah- wilayah ini berbeda dengan wilayah di Thailand pada umumnya, wilayah Thailand yang lain di domisili oleh etnis Thai yang beragama Budha, sedangkan wilayah Patani, Yala, dan Narathiwat disomisili oleh etnis Melayu yang mayoritas beragama Islam. Jauh sebelumnya wilayah Patani, Yala, dan Narathiwat merupakan bagian dari kesultanan Kaedah, dan Patani sendiri didirikan serta di bangun oleh masyarakat Melayu. Patani, Yala, dan Narathiwat masuk kedalam Thailand pada akgir abad 18, ketika kerajaan Siam berhasil menaklukkan wilayah tersebut.
Pada tahun 1930an Thailand mengalami revolusi, dimana sistem monarki absolut berubah menjadi sistem monarki parlementer, yang mana anggotanya didominasi oleh orang-orang dari kalangan militer. Dengan pergantian sistem, pemerintah pusat semakin radikal terhadap pemerintah di Thailand selatan, sistem perwakilan daerah kemudian dihapuskan dan diganti dengan sistem yang lebih sentralistik.
Tidak hanya sistem pemerintahan saja yang di ganti, namun peraturan-peraturan local yang berbasiskan islam mulai dihapuskan, dan masyarakat Thailand selatanpun diharuskan memakai Bahasa Thai sebagai Bahasa ibu, tidak lagi menggunakan Bahasa Melayu yang mana selama ini masih di pertahankan oleh mereka. Hal ini membuat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin tajam, masyarakat Thailand selatan yang tidak fasih berbahasa Thai kemudian kalah saing dalam masalah pekerjaan, sehingga membuat tingkat pengangguran meningkat, dan diiringi oleh tingkat ketidaksukaan terhadap pemerintah, yang akhirnya menyebabkan timbulnya gerakan separatism bersenjata yang anti terhadap pemerintah pusat. Namun serangan yang dilakukan di anggap masih terlalu minim sehingga mudah untuk di patahkan oleh pemerintah pusat.
Kemudian masyarakat Thailand Selatan membuat kelompok baru yang bernamakan PULO atau Patani United Liberation Organization. PULO adalah sebuah Organisasi Pembebasan Patani Bersatu, organisasi ini terbentuk pada tahun 1968. Dalam pergerakannnya, selain melalui angkat senjata organisasi ini juga melakukan kegiatan sosial untuk meningkatkan taraf pendidikan & kesejahteraan para penduduk, sehingga menarik perhatian masyarakat Patani untuk bergabung, namun dalam kenyataannya anggota PULO tidak pernah mencapai 400 orang. Sekitar tahun 1993 & 1995, PULO terpecah dan sebagaian anggotanya membentuk NEW PULO yang pergerakannya lebih agresif karena bermotif perjuangan bersenjata.
Pada tahun 1997 dibentuklah kelompok pemberontak bersatu, yakni : "Operasi Daun Gugur" (Operation Falling Leaves). Dalam operasi militer tersebut, para personil bersatu melakukan aksi-aksi penembakan, pemboman, dan pembakaran yang terkoordinir, di mana aksi-aksi tersebut mengakibatkan 9 korban tewas serta kerugian material yang sangat besar. Pemerintah Thailand pada waktu itu juga berkerjasama dengan perdana menteri Malaysia, Mahattir Muhammad, sehingga banyak tokoh pemberontakan yang bersembunyi di Malaysia berhasil ditangkap. Kemudian pemerintah mulai menetapkan Badan Otonomi Khusus Thailand Selatan, sehingga masyarakat berangsur-angsur mulai menemukan kedamaian.
Namun pada tahun 2001, Badan Otonomi khusus itu dihapuskan  dari wilayah Thailand Selatan, sehingga pada akhir tahun 2001 pemberontakan besar kembali terjadi dan munculnya kelompok bersenjata yang identitasnya tidak diketahui. Hal ini mengakibatkan 5 anggota polisi dan seorang relawan keamanan desa tewas. Tahun demi tahun pemberontakan dan  penyerangan di Thailand selatan terus mengalami peningkatan dari sekitar 75 kasus di tahun 2002, meningkat menjadi 119 kasus di tahun 2003. Pada tanggal 28 April 2004, sekitar 100 orang anggota milisi menyerang 10 pos militer di Thailand selatan. Serangan tersebut berhasil dipatahkan dan sebagian dari milisi tersebut kemudian bersembunyi di Masjid Krue Se, sebuah masjid yang sangat disakralkan oleh penduduk muslim lokal. Para tentara yang mengejar milisi kemudian menembaki masjid dan menewaskan milisi-milisi yang bersembunyi di dalamnya. Peristiwa tersebut spontan memunculkan kemarahan para penduduk muslim lokal, dan sejak saat itulah perjuangan-perjuangan yang terjadi di Thailand Selatan mulai di kait-kaitkan dengan agama islam garis keras dan munculnya Jihad
Sejak awal tahun 2005, organisasi-organisasi pergerakan yang berideologi Islam mulai terbentuk, misalnya Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP) dan Barisan Islam Pembebasan Patani (BIPP). Selain kelompok-kelompok baru tersebut, para "pemain lama" seperti PULO & BRN juga muncul kembali. Jumlah anggota pemberontak pada fase ini meningkat tajam, jika dibandingkan dengan konflik pada fase-fase sebelumnya yang hanya melibatkan ratusan orang. Sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa, jumlah orang yang terlibat dalam aksi-aksi penyerangan & vandalisme pada waktu itu mencapai 30.000 orang. Para militan ini, selain melakukan aktivitas pemboman, juga sering melakukan aksi-aksi penembakan & pemotongan kepala kepada orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka, termasuk kepada para pemuka agama setempat. Bahkan setelah berakhirnya rezim Thaksin Shinawatra, yaitu pada bulan Agustus 2006 pemberontak meledakkan 22 bank di kota Yala, selain itu kasus baru-baru ini tepatnya pada tanggal 9 Februari 2012, sebuah bom truk meledak di Thailand selatan dan mengakibatkan sekurang-kurangnya 1 orang tewas, dan tanggal 31 Maret 2012 kembali menimbulkan korban di Yala sebanyak 3 orang. Korban tewas akibat konflik yang terjadi dari tahun 2004-2012 ini lebih dari 5000 jiwa (Republik Eusosialis Tawon, 2012).

Kerangka teori

Saat ini pemerintah Thailand sebenarnya telah mengambil berbagai tindakan tegas dalam mengatasi pemberontakan di wilayah Thailand Selatan ini, diantaranya dengan adanya kerjasama militer dengan Amerika Serikat, China, Malaysia dan negara-negara lain dalam menangani konflik berkepanjangan yang terjadi di kawasan Thailand Selatan ini. Namun sampai saat ini terorisme dan konflik masih belum juga dapat diatasi.
Ada tiga alasan mengapa pihak ketiga sangat ingin terlibat dalam beberapa konflik separatism di dunia. Hal pertama adalah tidak adanya dukungan dari pihak ketiga yang berkaitan dengan merubah lintas batas negara yang tidak mendapat izin dari negara induknya, kedua semakin besarnya power negara induk, maka semakin besar juga kekuatan negara induk untuk melaukan pelanggaran ham yang membuat semakin besar juga dukungan yang di berikan oleh pihak ketiga untuk kelompok separatism, dan terakhir kelompok separatism akan mendapatkan dukungan jika memiliki etnis yang sama (SAIDEMAN, 2002), sehingga timbul rasa simpati terhadap sesama dan keinginan untuk menolong lebih besar. Indonesia memiliki etnis yang sama dengan masyarakat Thailand, dimana etnis kedua negara ini sama-sama Melayu, dan juga memiliki Agama yang sama yakni Islam. Walau dalam hal sejarah antara kedua negara ini berbeda
Konflik etnis yang terjadi dalam suatu negara dapat memiliki dimensi internasional. Semakin banyak dimensi internasional yang terlibat dalam konflik etnis maka semakin tinggi kecenderungan internasionalisasi konflik tersebut. Secara umum terdapat tiga sikap politik luar negeri suatu negara dalam menghadapi konflik etnis, terutama yang berkaitan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri. Tiga sikap tersebut adalah (1) berpihak pada negara induk (host country) tempat konflik etnis berlangsung; (2) berpihak pada pemberontak (rebels/belligerents); (3) bersikap netral dan/atau ambivalen. Menurut Regan, Intervensi asing dalam perang sipil yang berbasi etnis dapat membantu untuk mengakhiri kekerasan dalam konflik tersebut, tapi belum di ketahui apakah intervasi asing berpengaruh kepada jangka waktu berlangsungnya konflik.
Melibatkan pihak ketiga dalam konflik internal tidak selalu menjadikan sifat konflik berubah menjadi internasionalisasi yang berdampak negative, karena hal ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik, bukan menambah runyam konflik yang ada. Cara paling aman adalah dengan menggunakan jalur diplomasi, karena dalam beberapa hal diplomasi lebih menguntungkan daripada cara lain. Hal ini memiliki alasan diantaranya : tingkat keberhasilan di percaya akan menjadi lebih tinggi, karena mediasi dan negosiasi sebagai sarana resolusi konflik, kemudian diplomasi merupakan intervensi yang tidak menimbulkan kecemasan banyak pihak, serta tidak memakan banyak biaya. Menurut peneliitian yang dilakukan oleh Alexcis Heraclides pada tahun 1997 invasi militer biasanya lebih berhasil jika di terapkan pada perang sipil, sedangkan konflik separatism lebih cocok menggunakan jalur mediasi dengan cara-cara bernegosiasi dan berdiplomasi (Wardhani, Mengukur Probabilitas Keterlibatan Indonesia dalam Resolusi Konflik di Thailand Selatan). Selanjutnya menurut Miall, mediasi biasanya penting pada tahapan ketika pihak yang bertikai harus menerima kenyataan bahwa melanjutkan konflik tidak akan membuat mereka mencapai tujuan. Ketika sebuah konflik “matang”, maka negosiasi cenderung lebih berhasil (Mial, 1999)

Pembahasan

Pada hari Sabtu, 20 September 2008 lalu, Indonesia menjadi fasilitator untuk mempertemukan pemerintah Thailand dengan tokoh-tokoh Thailand selatan, guna membantu untuk melakukan perundingan yang telah di rencanakan sebelumnya. Perundingan ini diadakan di Istana Bogor dengan sifat perundingan tertutup.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang bertindak sebagai mediator tidak sendiri di dalam ruangan tersebut, JK didampingi oleh tim Farid Hussein dan Deputi Bidang politik Wapres, Johermansyah Johan, serta hadir pula Mantan Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan, pengamat Politik Fahri Ali, dan juga Duta Besar Indonesia untuk Thailand M. Hatta (liputan6, 2008).
Perundingan ini merupakan perundingan yang keempat dari rangkaian perundingan pendahuluan yang telah dilaksanakan di Kedah, Penang dan Langkawi, semuanya di Malaysia (Republika.co.id, 2008). Perwakilan kedua pihak yang bertikai memilih Indonesia sebagai mediator karena dianggap berhasil mencapai solusi damai di Nanggroe Aceh Darussalam. Bertindak sebagai mediator adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Liputan 6, 2008)
Sedangkan pada pagi harinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan delegasi pemerintah Thailand yang dipimpin oleh Jenderal Khwanchart Klahan. Demikian diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal. Dalam pertemuan itu Presiden Yudhoyono berbagi pengalaman dan pelajaran dari penanganan konflik Aceh dan memberi sejumlah masukan kepada Jenderal Klahan. Presiden juga menekankan bahwa setiap konflik, betapa pun sulitnya, pasti ada solusinya (tempo.co, 2008).
Diplomasi yang di lakukan selama dua hari itu mencapai kesuksesan. Ketika itu, pemerintah Thailand berunding dengan pemberontak separatis dan menyatakan komitmen mereka untuk mengakhiri konflik yang mengorbankan ribuan nyawa dan harta benda yang tak terhitung (Wardhani, Thailand Selatan, Sukses Diplomasi Indonesia, 2012). Menurut ma Al’Araf konflik akan berkhir jika kedua belah pihak memperhitungkan kalkulasi rasional, hingga pada akhirnya mereka akan merasa Buntu.

Kesimpulan

            Gerakan separatis Selatan Thailand gagal menggunakan legitimasi sejarah Pattani yang berubah dari “Malay Heartland” menjadi bagian wilayah dalam negara Thai Buddha. Bagi orang-orang Pattani, wilayah Selatan Thailand yang merangkumi bekas kerajan Pattani adalah tanah yang diperjuangkan, sedangkan bagi kerajaan Thai, wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang telah ditawan dan dikuasai.
Legitimasi sejarah yang tidak diterjemahkan dalam konteks legitimasi politik ini merupakan satu faktor kelemahan dan kegagalan gerakan separatis Selatan Thai jika dibandingkan dengan gerakan separatis lain di rantau ini seperti perjuangan Bangsamoro di Selatan Philipina, gerakan Aceh Merdeka dan Timor Leste.
Untuk menjadi mediator perdamaian banyak hal yang harus di persiapkan oleh Indonesia, selain pengalamannya dalam menyelesaikan konflik GAM, pada perundingan Damai RI-GAM di Helshinki, konflik Filipina dengan Moro, konflik kamboja dan lain sebagainya. Selain itu keberhasilan mediasi yang dilakukan Indonesia tidak lepas dari dukungan berbagai pihak dalam Negri yang terus bersinergi meredamkan konflik di Thailand Selatan.


Daftar Pusaka

dfasfafa. (n.d.).
Liputan 6. (2008, september 21). Perundingan Konflik Thailand Berakhir. Retrieved juni 7, 2016, from liputan 6: http://news.liputan6.com/read/165495/perundingan-konflik-thailand-berakhir
liputan6. (2008, september 20). Indonesia Jadi Mediator Konflik Thailand Selatan. Retrieved juni 7, 2016, from Liputan6: http://news.liputan6.com/read/165464/indonesia-jadi-mediator-konflik-thailand-selatan
Mial, H. (1999). Contemporary Conflict Resolution: the Prevention, Management, and Transformation of Deadly Conflict. Cambridge: Polity Press.
Republik Eusosialis Tawon. (2012, Febuari 16). Sejarah Konflik Berdarah di Thailan Selatan. Retrieved Juni 6, 2016, from Republik Eusosialis Tawon: http://www.re-tawon.com/2012/02/sejarah-konflik-berdarah-di-thailand.html
Republika.co.id. (2008, september 21). RI Jadi Mediator Konflik Thailand Selatan. Retrieved juni 7, 2016, from Archive: http://www.republika.co.id/berita/no-channel/08/09/21/4218-ri-jadi-mediator-konflik-thailand-selatan
SAIDEMAN, S. M. (2002). Discrimination in International Relations: Analyzing External Support for Ethnic Groups. Journal of Peace Research, 3.
tempo.co. (2008, aeptember 20). Indonesia Tengahi Konflik Thailand Selatan . Retrieved juni 7, 2016, from Tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2008/09/20/078136582/indonesia-tengahi-konflik-thailand-selatan
Wardhani, B. (2012, November 10). Thailand Selatan, Sukses Diplomasi Indonesia. Retrieved juni 7, 2016, from Thailand Selatan, Sukses Diplomasi Indonesia: http://baiq-wardhani-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64383-Umum-Thailand%20Selatan,%20Sukses%20Diplomasi%20Indonesia.html
Wardhani, B. (n.d.). Mengukur Probabilitas Keterlibatan Indonesia dalam Resolusi Konflik di Thailand Selatan. Retrieved juni 6, 2016, from academia.edu: https://www.academia.edu/9789594/Mengukur_Probabilitas_Keterlibatan_Indonesia_dalam_Resolusi_Konflik_di_Thailand_Selatan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerpen lama

Untung Gue Punya Mimpi

2013 ( thanks God dor everything )